Budaya seperti apa yang kita lakukan di musim hujan yang berlimpah air? Begitu banyak air dicurahkan dari langit. Kenyataan dalam alam kita, pada musim hujan itu juga air hujan paling banyak ke parit, selokan, sungai dan langsung langsung kembali ke laut. Yang tinggal di dalam tanah ya hanya yang dilakukan oleh alam. Itupun hanya di daerah pertanian, pedesaan dan pegunungan.
Kita tidak melihat budaya publik berikut metode dan tekniknya untuk membuat air hujan bertahan di tanah sampai musim kemarau datang lagi. Bahkan, berbagai industri berbasis kayu malah mengganggu alam dengan membabat hutan. Dan ketika giliran musim kemarau datang, alam lagi yang disalahkan, kenapa hujan tidak datang-datang.
Singkat kata, sejarah pergaulan manusia tropis di Indonesia ratusan tahun lamanya tidak menunjukkan adanya peradaban yang mengagumkan. Peradaban manusia tropis Indonesia justru makin menyebabkan kemungkinan terjadinya kelangkaan air. Sejak tahun 1985 terjadi pembabatan hutan sebesar 1,6 juta hektar per tahun. Dan pada th 1997 meningkat menjadi 2,83 juta hektar pertahun. Pada hal di hutan itulah alam melakukan penyimpanan air. Jadi ancaman serius, yaitu kekurangan air akan dialami anak cucu kita di tahun-tahun yang akan datang.
Negara/pemerintah dan juga universitas tidak menunjukkan perannya yang siginifikan dalam membangun kebudayaan air di negeri kita ini. Hasil studi berupa teks-teks di perpustakaan mungkin saja banyak. Belum menjadi praktek yang dahsyat di lapangan.
Akankah hal ini dibiarkan berlanjut? Musim hujan mengeluh, musim kemarau mengeluh? Air kita cintai sebatas kita perlu untuk mandi, cuci, minum dan menanam, lebih dari itu kita benci sebagai sumber malapetaka dan bencana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar