menu bar

Informasi adalah salah satu aset yang sangat penting yang dimiliki oleh sebuah organisasi. Pengelolaan informasi sebagai aset atau sumber daya organisasi ini (seperti halnya sumber daya manusia dan keuangan) tentunya sangat penting dilakukan untuk memenuhi kebutuhan informasi manajemen baik secara strategis maupun operasional. Salah satu strategi dalam pengelolaan informasi untuk kebutuhan manajemen ini adalah pengembangan sistem informasi manajemen atau lebih dikenal dengan istilah SIM.
Pengembangan SIM dalam sebuah organisasi tidak terlepas dari adanya perubahan-perubahan dalam bidang teknologi informasi dan telekomunikasi yang terjadi pada saat ini. Sebagai contoh dukungan integrasi informasi ke dalam sebuah jaringan yang dapat diakses dari sektor-sektor masyarakat secara umum maupun pribadi (OICT, 2005: 3), ternyata telah mempengaruhi kegiatan internal SIM yang ada dalam sebuah organisasi. Selain itu, perubahan-perubahan kebiasaan cara mencari informasi oleh para pengguna akhir (end-user), berkembang pesatnya produk-produk informasi dalam berbagai macam format, dan cara penyampaian jasa yang berorientasi kepada kepuasan pengguna menuntut organisasi untuk mengkaji ulang sistem informasi yang telah dikembangkan sebelumnya.
Kajian ulang terhadap aset-aset dan kebutuhan informasi bagi para stakeholder dalam rangka mencari model sistem yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan pengguna tersebut merupakan salah satu komponen dalam siklus hidup pengembangan sistem informasi. Pada siklus hidup pengembangan sistem informasi ini, tiap-tiap bagian dari pengembangan sistem dapat terdiri dari beberapa tahapan kerja yang mempunyai karakteristik sendiri. Tahapan kerja ini biasanya dimulai dari tahap perencanaan sistem, analisa sistem, desain sistem, seleksi sistem, implementasi sistem, dan perawatan sistem (Hartono, 1999: 41). Seperti yang disinyalir oleh Nurwono (1994) sistem informasi dapat dibentuk sesuai dengan kebutuhan organisasi masing-masing, oleh karena itu untuk dapat menerapkan sistem informasi yang efektif dan efisien, diperlukan perencanaan, pelaksanaan, pengaturan, dan evaluasi sesuai dengan keinginan dan nilai masing-masing organisasi.
Salah satu kegiatan analisa sistem ini adalah mendefinisikan kebutuhan informasi. Analisa kebutuhan informasi bagi para stakeholder dapat dilakukan dengan beberapa metode pengumpulan informasi, antara lain: wawancara perorangan atau kelompok fokus, pengamatan (observasi), dan pencarian catatan (dokumentasi). Penerapan metode-metode ini dipadukan dalam sebuah tahapan pengumpulan data yang sistematis. Kemudian tahapan ini diikuti oleh kegiatan analisa dan evaluasi data sampai kepada tersedianya rumusan-rumusan rekomendasi untuk pengembangan sistem tersebut. Proses tersebut merupakan sebuah evaluasi sistematis terhadap kebutuhan dan penggunaan informasi yang tercipta dengan sebuah pembuktian yang ditunjukan oleh pengguna dan dokumen-dokumen yang ada untuk memperkuat keberadaannya dalam memberikan konstribusi bagi tujuan-tujuan organisasi. Selanjutnya proses ini dikenal dengan istilah audit informasi (Henczel, 2001: xxii).
Audit informasi dilakukan untuk memahami bagaimana sebuah lingkungan informasi (dalam hal ini sistem informasi manajemen sebuah organisasi) tepat sesuai dengan misi dan visi organisasi. Dengan dilakukan audit informasi terhadap kebutuhan dan penggunaan informasi pada sistem yang berjalan, maka akan diketahui informasi-informasi apa yang perlu dihasilkan sebagai keluaran (output) dari sistem yang akan dikembangkan tersebut. Pada akhirnya pelaksanaan audit informasi ini akan menghasilkan rekomendasi-rekomendasi sebagai bahan masukan dalam merumuskan sebuah kebijakan informasi tentang pengembangan sistem informasi manajemen bagi organisasi bersangkutan.

B. Informasi dan Kebutuhan Informasi Manajemen

Memahami arti, sifat dan ciri-ciri informasi merupakan persyaratan awal dalam penerapan audit informasi dalam sebuah organisasi. Davis (1998: 28) menegaskan bahwa istilah informasi dapat mengenai data mentah, data tersusun, kapasitas sebuah saluran komunikasi, atau yang lainnya sesuai dengan pendekatan disiplin ilmu yang menerapkannya. Informasi dapat memperkaya penyajian, mempunyai nilai kejutan, atau mengungkap sesuatu yang penerimanya tidak tahu atau tidak tersangka. Dalam dunia yang tidak menentu, informasi mengurangi ketidakpastian. Ia mengubah kemungkinan-kemungkinan hasil yang diharapkan dalam sebuah situasi keputusan dan karena itu mempunyai nilai dalam proses keputusan.
Buckland (seperti yang dikutip Marchionini, 1998: 5) membedakan informasi sebagai proses (kegiatan komunikasi), informasi sebagai pengetahuan (menambah atau mengurangi ketidakpastian), dan informasi sebagai suatu benda (objek-objek yang mungkin memberikan informasi). Dalam hal ini Marchionini (1998:5) menyimpulkan bahwa informasi adalah sesuatu yang disalurkan dari seseorang atau benda ke dalam sebuah sistem pengetahuan penerimanya, dan sebagai komponen internal dalam fikiran orang tersebut. Sedangkan Gray (seperti yang dikutip Ramjaun, 2000: 2) menjelaskan bahwa informasi adalah sesuatu yang dibutuhkan seseorang untuk diketahui dan diterapkan dalam melaksanakan pekerjaannya agar sesuai dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapainya baik oleh orang itu sendiri maupun oleh organisasinya.
Davis (1999: 28) memberikan definisi secara umum untuk istilah informasi dalam pemakaian sistem informasi. Informasi adalah data yang telah diolah menjadi sebuah bentuk yang berarti bagi penerimanya dan bermanfaat dalam mengambil keputusan saat ini atau mendatang. Definisi ini menekankan kenyataan bahwa data harus diproses dengan cara-cara tertentu untuk menjadi informasi dalam bentuk dan nilai yang berguna bagi pemakainya. Dengan demikian seorang pemakai informasi dapat bertindak atau mengambil keputusan tertentu secara pasti berdasarkan informasi yang dimilikinya.
Dalam hal kebutuhan informasi untuk manajemen, masing-masing tingkat manajemen akan menggunakan bentuk informasi sesuai dengan keperluan masing-masing. Karena itu terdapat bermacam-macam pengelompokan informasi. Pada gambar berikut ini diperlihatkan secara kontras segi bisnis suatu informasi secara berkesinambungan dengan manajemen lini atas (strategis) di satu sisi dan manajemen lini bawah (teknis) di sisi lain. Manajemen lini tengah (taktis), sebagaimana biasa, selalu berada di antara keduanya dengan bentuk informasi yang berada di antara kedua bentuk tingkatan tersebut (Amsyah, 1997: 289). Faktor-faktor dominan yang membedakan kebutuhan informasi dalam gambar tersebut adalah pada manajemen tingkat atas bentuk informasi biasanya tidak terstruktur, masa depan dan eksternal. Sedangkan pada manajemen tingkat bawah bentuk informasi terstruktur, sudah terjadi dan internal.

Gambar 1. Dimensi bisnis suatu informasi (Sumber: Amsyah, 1997: 290)

Kita ambil contoh pekerjaan seorang Kepala Bagian (Kabag) pengadaan bahan pustaka di perpustakaan perguruan tinggi sebagai manajemen tingkat bawah. Ia ingin memonitor informasi mengenai permintaan koleksi (buku) oleh pengguna dalam subyek tertentu. Karena informasinya terstruktur, maka daftar permintaan buku berdasarkan subyek tersebut dapat diprogramkan. Peraturan-peraturan, prosedur-prosedur, dan cara penyampaian permintaannya dapat dibuat untuk keperluan pengadaan koleksi perpustakaan agar segalanya secara efektif dan efisien dapat dicapai sesuai dengan informasi yang sudah diketahuinya. Lain halnya dengan pekerjaan Kepala Perpustakaan, ia harus menentukan subyek apa yang akan diprioritaskan untuk dibeli untuk tahun anggaran yang akan datang. Ia membutuhkan informasi tambahan dari fungsi kegiatan lainnya, seperti data sirkulasi dan pemeliharaan untuk menentukan kebijakan pengembangan koleksi yang akan dibuatnya.
Dengan contoh di atas terlihat bahwa untuk pekerjaan manajemen lini bawah sistem informasinya lebih mudah diprogramkan dengan komputer dibandingkan dengan informasi untuk manajemen lini atas. Bentuk tanggung jawab manajemen lini atas yang meliputi masalah perencanaan strategis dengan sifat informasinya yang tidak terstruktur memang sulit untuk diprogramkan. Informasi untuk keperluan perencanaan (lini atas) lebih berorientasi pada masa depan, karena itu tidak sekonkret bila dibandingkan dengan informasi untuk keperluan manajemen lini bawah (Amsyah, 1997: 291).
Informasi yang dibutuhkan oleh unit-unit kerja dari semua tingkat kegiatan sampai ketingkat pengguna jasa organisasi sebagai bahan komunikasi organisasi akan diolah, digunakan dan disaring kemudian disalurkan sesuai dengan tingkatan dalam organisasi, seperti gambar di bawah ini. Gambar tersebut menunjukkan arus informasi dalam organisasi dari manajer lini atas (level 1) sebagai tingkat strategis, sampai ke lini bawah (level 4) sebagai tingkatan yang paling bawah di mana para pekerja langsung berhadapan dengan para pengguna. Hal ini menunjukkan bagaimana arus informasi dalam organisasi naik dan turun sesuai dengan jenjang dan tingkatannya (Henczel, 2001: 7). Untuk tiap-tiap tingkatan manajemen, tipe informasi yang dibutuhkan akan berbeda. Pada manajemen tingkat bawah, tipe informasinya adalah terinci (detail), karena informasi utama digunakan untuk pengendalian operasi. Sedangkan untuk manajemen yang lebih tinggi tingkatannya, tipe informasinya adalah semakin tersaring atau lebih ringkas (Hartono, 1999: 26).
Gambar 2. Penyaringan informasi ke level atas dalam tingkatan organisasi[u1]
(Gambar diadopsi dari: Henczel, 2001: 7).


C. Sistem Informasi

Untuk mendukung proses manajemen informasi seperti digambarkan di atas dibutuhkan sistem informasi (SI) yang menjadi poros untuk mengalirkan informasi dengan lancar agar proses-proses itu dapat berlangsung secara berkesinambungan dan teratur. Oetomo (2002: 11) mendefinisikan sistem informasi (SI) sebagai kumpulan elemen yang saling berhubungan satu sama yang lain yang membentuk satu kesatuan untuk mengintegrasikan data, memproses dan menyimpan serta mendistribusikan informasi. Dengan kata lain, SI merupakan kesatuan elemen-elemen yang saling berinteraksi secara sistematis dan teratur untuk menciptakan dan membentuk arus informasi yang akan mendukung pembuatan keputusan dan melakukan kontrol terhadap jalannya perusahaan
Dengan kata lain sistem informasi adalah suatu sistem di dalam sebuah organisasi yang mempertemukan kebutuhan pengolahan transaksi harian, mendukung operasi, bersifat manajerial dan kegiatan strategis dari suatu organisasi dan menyediakan pihak tertentu dengan informasi yang diperlukan.
Secara sederhana sistem informasi terdiri dari input, proses dan output seperti yang ilustrasikan pada gambar berikut ini. Sistem informasi menerima masukan data dan instruksi, mengolah data tersebut sesuai instruksi, dan mengeluarkan sesuai dengan instruksi.

Gambar 3. Transformasi data menjadi informasi (Sumber: Davis, 1999: 91)

Model dasar sistem ini cocok bagi kasus sistem pengolahan informasi yang paling sederhana di mana semua masukan tiba pada saat bersamaan. Namun hal ini jarang terjadi dan biasanya dalam sistem informasi sering membutuhkan data yang telah disimpan dan diolah pada periode sebelumnya. Karena itu ditambahkan komponen sistem informasi lainnya, yaitu sebuah penyimpanan data (data storage), dan untuk maksud pengendalian dapat ditambahkan suatu sistem pengendalian umpan balik dalam sistem informasi tersebut (Davis, 1999: 91).

Gambar 4. Model Penerapan Sistem Informasi (Sumber: Laudon, 1995: 7)

Dalam sistem tersebut terdapat hubungan umpan balik dengan kedua elemen, yaitu input dan output. Input berupa data yang dimasukan melalui alat input (seperti: keybord atau unit kerja) yang akan diproses dengan metode-metode tertentu dan akan menghasilkan output berupa informasi. Informasi yang dihasilkan dapat berupa laporan (report) atau solusi dari proses yang telah dijalankan (Herlambang dan Tanuwijaya, 2005: 47).
Laudon & Laudon (1995: 5) memberikan penjelasan bahwa input merupakan proses penangkapan atau pengumpulan sumber-sumber data dari dalam dan luar organisasi, processing sebagai proses pengkonversian data yang di-input ke dalam bentuk yang lebih tepat dan berguna, dan output sebagai proses penyaluran informasi yang sudah diproses untuk orang-orang atau kegiatan-kegiatan yang memerlukannya. Sistem informasi juga menyimpan informasi dalam berbagai macam bentuk hingga informasi tersebut dibutuhkan. Sedangkan feedback atau umpan balik merupakan output yang dikembalikan pada anggota organisasi yang tepat untuk membantunya mengoreksi pada tahapan input.

D. Pengembangan Sistem Informasi

Pada dasarnya sistem informasi dapat merupakan tata kelola informasi secara manual atau berbasis komputer. Namun dalam perkembangan selanjutnya sistem informasi selalu berhubungan dengan teknologi informasi, khususnya teknologi komputer. Pengembangan sistem informasi berbasis komputer dapat merupakan tugas komplek yang membutuhkan banyak sumber daya dan dapat memakan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun untuk menyelesaikannya. Oetomo (2002: 12) menjelaskan bahwa membangun sistem informasi bukan sekedar mengotomasi prosedur lama, tetapi menata dan memperbaharui bahkan menciptakan arus data yang baru yang lebih efisien, menetapkan prosedur pengolahan data yang baru secara tepat, sistematis, dan sederhana, menentukan model penyajian yang informatif dan standar, serta distribusi yang efektif. Proses pengembangan sistem ini biasanya melewati beberapa tahapan mulai dari sistem itu direncanakan sampai dengan sistem tersebut diterapkan, dioperasikan dan dipelihara dalam sebuah siklus hidup sistem.
Tahapan utama siklus hidup sistem ini terdiri dari tahapan perencanaan sistem, analisa sistem, desain sistem, seleksi sistem, implementasi sistem dan perawatan sistem (lihat gambar 5). Sebenarnya ada beberapa model siklus pengembangan sistem yang telah berkembang sejak tahun 70an – 90an seperti yang telah dijelaskan oleh Hartono (1999). Di antara 18 contoh model siklus pengembangan sistem yang disajikannya, hanya tiga model yang secara tegas menjelaskan tentang identifikasi kebutuhan-kebutuhan informasi dalam tahapan analisa sistemnya. Ketiga model tersebut dikembangkan oleh Joseph W. Wilkinson tahun 1982, Gordon B. Davis tahun 1985 dan Robert H. Blistmer tahun 1985.
Gambar 5. Siklus hidup pengembangan sistem (Sumber: Hartono, 1999: 41).

Wilkinson (seperti yang dikutip Hartono,1999: 52) menjelaskan bahwa ada beberapa pendekatan untuk mengembangkan sistem, yaitu: 1). Pendekatan klasik lawan pendekatan terstruktur (dipandang dari metodologi yang digunakan); 2). Pendekatan sepotong lawan pendekatan sistem (dipandang dari sasaran yang akan dicapai); 3). Pendekatan bawah-naik lawan pendekatan atas-turun (dipandang dari cara menentukan kebutuhan dari sistem); 4). Pendekatan sistem-menyeluruh lawan pendekatan moduler (dipandang dari cara mengembangkannya); dan 5). Pendekatan lompat jauh lawan pendekatan berkembang (dipandang dari teknologi yang akan digunakan).
Selanjutnya Wilkinson (Ibid: 58) menjelaskan bahwa salah satu pendekatan yang melihat kepada kebutuhan informasi organisasi adalah pendekatan bawah-naik (bottom-up approach) dan pendekatan atas-turun (top-down approach). Pada pendekatan bawah-naik pelaksanaan dimulai dari level bawah opersional di mana transaksi di lakukan. Pendekatan ini dimulai dari perumusan kebutuhan-kebutuhan untuk menangani transaksi dan naik ke level atas dengan merumuskan kebutuhan informasi berdasarkan transaksi tersebut. Sedangkan pada pendekatan atas turun pelaksanaan dimulai dengan mendefinisikan sasaran dan kebijakan organisasi. Langkah selanjutnya adalah dilakukannya analisa kebutuhan informasi. Setelah kebutuhan informasi ditentukan, maka proses selanjutnya turun ke pemrosesan transaksi untuk menentukan output, input, basis data, prosedur-prosedur operasi dan kontrol.
Keberadaan sistem informasi dalam meningkatkan kesehatan arus informasi sebuah organisasi perlu ditindaklanjuti dengan membangun suatu sistem informasi manajemen (SIM) yang integral dan terpadu. Oetomo (2002: 167) menjelaskan bahwa SIM akan menolong perusahaan-perusahaan dalam mengintegrasikan data, mempercepat dan mensistematiskan pengolahan data, meningkatkan kualitas informasi dan kontrol manajemen, mendorong terciptanya produk-produk baru, meningkatkan layanan dan kontrol, mengotomasi sebagian pekerjaan rutin, dan menyederhanakan alur kerja.
Davis (1999: 3) memberikan definisi SIM sebagai sebuah sistem manusia/mesin yang terpadu (integrated) untuk menyajikan informasi guna mendukung fungsi operasi, manajemen, dan pengambilan keputusan dalam sebuah organisasi. Sejalan dengan definisi Davis ini, Mc Leod (seperti yang dikutip Oetomo,2002: 168) memberikan definisi SIM sebagai suatu sistem berbasis komputer yang menyediakan informasi bagi beberapa pemakai yang mempunyai kebutuhan serupa. Informasi menjelaskan perusahaan atau salah satu sistem utamanya mengenai apa yang telah terjadi sekarang dan apa yang mungkin terjadi di masa depan. Informasi tersebut tersedia dalam bentuk laporan periodik, laporan khusus dan output dari simulasi matematika. Informasi digunakan oleh pengelola maupun staf lainnya pada saat mereka membuat keputusan untuk memecahkan masalah.

E. Sistem Informasi Perpustakaan

Perkembangan SIM pada suatu organisasi atau perusahaan telah menghasilkan berbagai macam jenis SIM yang berkembang saat ini. Misalnya: sistem informasi akutansi, sistem informasi pemasaran, sistem informasi perhotelan, sistem informasi perpustakaan, dan lain sebagainya. Meskipun banyak jenis SIM yang telah dikembangkan, namun tujuan pengembangan SIM adalah untuk menyediakan informasi-informasi beserta ringkasan eksekutifnya yang akan menjadi landasan dalam melaksanakan proses manajerial.
Perpustakaan sebagai lembaga pendidikan dan lembaga penyedia informasi akan memiliki kinerja yang baik apabila ditunjang dengan manajemen untuk mengatur langkah-langkah dalam proses manajerialnya. Sedangkan sistem informasi dimaksudkan untuk memberikan informasi kepada semua manajer unit terkait agar dapat melakukan kontrol dan membuat perencanaan selanjutnya atau mengambil keputusan-keputusan seperti bahan pustaka (koleksi) bidang subyek apa atau dalam format apa yang akan dibeli untuk program anggaran berikutnya, atau jenis layanan apa yang akan dikembangkan dalam periode yang akan datang. Untuk membuat keputusan seperti ini semua manajer yang terkait di dalam lingkungan perpustakaan akan membutuhkan informasi yang dihasilkan dari kegiatan-kegiatan operasional yang ada dalam sistem informasi yang telah dikembangkannya.
Gambar 6. Operasional sebuah perpustakaan (Sumber: Lancaster,1988)

Dalam hal kegiatan operasional perpustakaan pada dasarnya kegiatan-kegiatan tersebut dibagi menjadi dua kelompok utama seperti yang digambarkan dalam diagram di atas. Kegiatan pertama berhubungan dengan organisasi dan pengawasan sumber-sumber informasi. Kegiatan-kegiatan ini berupa layanan teknis yang menghasilkan berbagai macam alat bantu (seperti: katalog, bibliografi, klasifikasi rak, dan sejenisnya) yang akan membantu kegiatan kelompok keduanya, yaitu layanan publik. Layanan publik kemudian dibagi lagi menjadi dua kelompok: demand service dan notification service. Layanan yang pertama bersifat pasif menunggu respon atas permintaan para pengguna, sedangkan yang kedua lebih dinamis dengan mencoba mendisain layanan untuk di informasikan kepada para pengguna sehingga mereka menjadi tertarik (Lancaster,1988: 2).
Seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi, perpustakaan sebagai sebuah institusi pengelola informasi merupakan salah satu bidang yang tidak lepas dari penerapan teknologi informasi yang sedang berkembang pesat saat ini. Perkembangan dari penerapan teknologi informasi bisa kita lihat dari perkembangan jenis perpustakaan yang selalu berkaitan dengan teknologi informasi, diawali dari perpustakaan manual, perpustakaan terotomasi, sampai pada perpustakaan digital atau cyber library (Arif, 2003:1).
Dengan adanya perkembangan dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi yang dapat difungsikan dalam berbagai macam bentuk di atas, maka pekerjaan perpustakaan sekarang adalah menghadirkan sistem otomasi perpustakaan terintegrasi, termasuk jaringan dan teknologi bidang elektronik dalam mewujudkan perpustakaan modern. Banyak perpustakaan yang telah memilih sistem informasi terotomasi pada awal abad ke-19an, dimana usaha-usaha perencanaan yang telah dilakukan sebelumnya difokuskan pada alih fungsi manual kepada sistem input dan output serta pembuatan sistem pencarian kembali koleksi secara terkomputerisasi, sekarang ini banyak mulai melakukan migrasi ke sistem yang baru. Hal ini disebabkan karena sistem yang pertama masih bersifat lokal, sedangkan sistem yang berkembang saat ini adalah bagaimana perpustakaan dapat mengatur sumber dayanya agar dapat diakses dalam jangkauan yang lebih luas lagi (Cohn dkk., 2001: xv).
Rowley (1998: 314) menjelaskan bahwa fokus sistem informasi manajemen perpustakaan adalah untuk memelihara, pengembangan dan pengawasan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan koleksi yang mendukung penyeleksian, pemesanan, pengadaan, pelabelan, pengatalogan, dan kontrol sirkulasi koleksi perpustakaan. Sistem tersebut paling tidak harus mendukung fungsi-fungsi kegiatan manajemen perpustakaan sebagai berikut:
1. Pemesanan dan pengadaan (mencakup kegiatan: pemesanan; penerimaan; penolakan; penghitungan keuangan; enquires status pemesanan; laporan dan statistik pengadaan).
2. Pengatalogan (meliputi: entri data; kontrol kepengarangan; downloading rekod dari basis data lain).
3. OPAC atau bentuk katalog lainnya (meliputi: akses secara online; antarmuka akses secara umum; bentuk katalog lainnya; akses internet; akses dari pengguna jauh melalui internet).
4. Kontrol sirkulasi (meliputi: parameter-parameter tentang kebijakan peminjaman, waktu buka layanan dll.; peminjaman; waktu pengembalian; perpanjangan; denda; pemeliharaan; peminjaman jangka pendek; pemeliharaan berkas peminjam, enqiuries yang berhubungan dengan para peminjam atau status dari tiap itemnya; surat peringatan; laporan dan statistik penggunaan koleksi yang ada).
5. Kontrol serial ( meliputi: pemesanan untuk berlangganan; penerimaan isu-isu secara tersendiri; penolakan; penjilidan dan kontrolnya; penghitungan keuangan; pengatalogan; kontrol sirkulasi; enquires berhubungan dengan serial; laporan dan statistik).
6. Informasi manajemen (meliputi: berbagai macam laporan dan statistik; alat-alat yang diperlukan untuk menganalisa informasi secara statistik).
7. Pinjam antar perpustakaan (hampir sama dengan kontrol sirkulasi, tapi biasanya pilihannya lebih sedikit).
8. Informasi komunitas (meliputi: entri data; akses secara online; antarmuka akses publik).
F. Audit Informasi

Istilah audit informasi diperkenalkan oleh Elizabeth Orna dalam Practical information policies; how to manage information flow in organizations (1990) dan St. Clair Guy dalam Customer service in the information environment (1993), sebagai komponen yang terintegrasi dalam pengembangan kebijakan informasi terutama dalam rangka pengembangan strategi informasi. Proses audit informasi ini digambarkan sebagai cara yang efektif untuk mengidentifikasi kebutuhan informasi organisasi, memetakan arus informasi dari dalam dan luar, mengembangkan komunikasi antara professional informasi dengan para pekerja, pemasaran layanan informasi dan pengembangan profil perpustakaan dalam organisasi (Henczel, 2001: 13).
Salah satu definisi mengenai audit informasi dari perspektif pengguna perpustakaan dinyatakan oleh Sharon LaRosa ( dalam Henzel, 2001), ia mendefinisikan audit informasi sebagai sebuah metode untuk mengeksplorasi dan menganalisa perpustakaan yang mempunyai ragam pengguna dalam melakukan kegiatannya secara strategis, dan menentukan peluang-peluang jasa dalam menghadapi para penggunanya. Audit informasi, yang timbul dari pertanyaan tentang dimana dan bagaimana para pengguna menemukan dan menggunakan informasi, memberikan perpustakaan pengertian yang lebih baik akan kebutuhan sekarang dan masa datang dari para penggunanya, dimana pada gilirannya akan menolong perpustakaan itu sendiri dalam menentukan arahan strategis yang paling tepat.
Definisi-definisi tersebut mempunyai beberapa implikasi yang penting dalam pengelolaan informasi sebuah organisasi, antara lain:
1. Tujuan audit informasi adalah untuk menemukan bagaimana organisasi menggunakan informasi untuk memenuhi tujuan-tujuan organisasinya. Jadi titik awalnya ada pada tujuan-tujuan organisasi tersebut, kemudian berimplikasi terhadap informasi yang dibutuhkan dan bagaimana informasi ini digunakan dalam memenuhi tujuan-tujuan tersebut. Pertimbangan tujuan-tujuan bisnis sebagai titik awal pelaksanaan audit ini akan menghasilkan sebuah pernyataan dasar tentang “Bagaimana seharusnya” informasi digunakan, dan hal ini akan memberikan petunjuk dari mana audit ini dimulai.
2. Proses audit ini sebagai suatu kegiatan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tepat untuk menemukan “Bagaimana hal yang terjadi sebenarnya” dalam menjawab kerangka permasalahan yang ada.
3. Keluaran audit ini terdiri dari hasil pencocokan antara bagaimana yang seharusnya terjadi dengan bagaimana yang terjadi sekarang.
4. Keluaran audit merupakan kegiatan penafsiran terhadap hasil pencocokan tersebut, dan memutuskan bagaimana penggunaan informasi organisasi kepada yang lebih mendekati tujuan yang dibutuhkannya (Orna, 1999: 70).

G. Metodologi Audit Informasi

Ada beberapa metodologi audit informasi yang dapat diterapkan dalam sebuah organisasi, di mana pelaksanaannya sangat tergantung kapada cakupan dan tujuan organisasi bersangkutan. Guenter (2004: 470) mengungkapkan bahwa, “There is really no formal rules, tools, or methods on how it should be conducted. The purpose of your audit and the structure or your own organization will directly determine its design and scope”.
Pernyataan Guenter ini mengisyaratkan bahwa untuk menentukan aturan, alat bantu, atau metode-metode formal tentang bagaimana seharusnya audit informasi ini dilaksanakan, maka desain dan cakupannya akan didasarkan pada tujuan audit dan struktur organisasi bersangkutan.
Henczel (2001: 17) menggambarkan komponen-komponen pelaksanaan audit informasi ke dalam tujuh tahap seperti tertera dalam gambar di bawah ini. Model tersebut dapat dikurangi atau ditambah sesuai dengan tipe organisasi, sumber-sumber yang tersedia dan alasan-alasan dalam pelaksanaan audit informasi tersebut.

Gambar 7. Model Tahapan Audit Informasi (sumber: Henczel, 2001: 17)

Tahap pertama, perencanaan, yaitu proses yang menggambarkan bagaimana memulai perencanaan audit informasi. Tahapan ini yang paling menentukan berhasil tidaknya audit informasi ini dilakukan. Dalam tahapan ini terdiri dari beberapa langkah yang harus dilaksanakan, yaitu: (i) menentukan tujuan yang jelas; (ii) menentukan cakupan audit dan alokasi sumbernya; (iii) memilih metodologi; (iv) mengembangkan strategi komunikasi; (v) mendaftar dukungan manajemen (termasuk persiapan kasus bisnisnya).
Tahapan kedua, pengumpulan data, yaitu proses yang menggambarkan bagaimana mengembangkan sebuah basis data sumber-sumber informasi, dan kemudian harus menentukan metode pengumpulan data, di antaranya: kuesioner, wawancara fokus pada grup dan wawancara personal.
Tahapan ketiga, analisa data, yaitu proses yang melihat pada tiga jenis (langkah) analisa yang diperlukan. Langkah pertama menganalisa data di dalam basis data informasi. Kedua pemetaan arus informasi. Dan, ketiga analisa survey tambahan. Tahapan ini mencakup persiapan data, penginputan dan pengeditan data dan berbagai macam cara di mana data dapat dianalisa dan memperkenalkan perangkat lunak yang dapat membantu analisa baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
Tahapan keempat, evaluasi data, yaitu proses yang mendiskusikan evaluasi dan interpretasi data dalam kontek organisasi dan menganjurkan beberapa cara di mana temuan-temuan dapat digunakan untuk mengembangkan strategi-strategi dan memformulasikan rekomendasi, di antaranya: mengevaluasi kemungkinan adanya gap dan duplikasi; menginterpretasikan arus informasi; mengevaluasi permasalahan; memformulasikan rekomendasi; mengembangkan rencana kerja untuk melakukan perubahan.
Tahapan kelima, mengkomunikasikan temuan-temuan dan rekomendasi, yaitu proses yang menguji semua isu yang penting untuk dikomunikasikan dan direkomendasikan kepada stakeholder. Ada berbagai macam pilihan yang tersedia untuk mempresentasikan temuan-temuan dan rekomendasi hasil audit tersebut: laporan tertulis, presentasi dan seminar secara lisan, melalui situs organisasi atau umpan balik secara pribadi dari partisipan dan stakeholder.
Tahapan keenam, menerapkan rekomendasi, yaitu proses yang menghubungkan temuan-temuan dengan penerapan rekomendasi dan menganjurkan cara-cara untuk meningkatkan kesempatan penerapan yang berhasil. Pada tahapan ini memperkenalkan kebijakan informasi sebagai sebuah alat untuk mengkoordinasi bagaimana informasi dikelola di dalam organisasi tersebut
Tahapan ketujuh, audit informasi sebagai proses berkesinambungan, yaitu proses yang melihat bagaimana proses audit informasi ini dapat dilaksanakan secara reguler untuk menjaga keseimbangan perubahan kebutuhan informasi organisasi.

H. Studi Kasus Pelaksanaan Audit Informasi di Perpustakaan

Studi kasus pelaksanaan audit informasi di perpustakaan ini mengangkat hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis dengan judul PELAKSANAAN AUDIT INFORMASI SISTEM INFORMASI PERPUSTAKAAN UIN JAKARTA: STUDI KASUS KEGIATAN PENGADAAN KOLEKSI. Pada penelitian ini penulis berasumsi bahwa hasil keluaran (output) sistem informasi terotomasi perpustakaan UIN Jakarta berbasis CDS/ISIS belum memenuhi kebutuhan informasi bagi fungsi kegiatan pengadaan koleksi perpustakaan yang selama ini berlangsung. Kasus ini mengakibatkan adanya kesenjangan dan duplikasi informasi baik di antara fungsi-fungsi kegiatan manajemen, maupun antara pihak manajemen dengan pengguna perpustakaan. Dalam memenuhi kebutuhan tersebut, perpustakaan UIN Jakarta telah merencanakan untuk mengembangkan sistem informasi perpustakaan terintegrasi berbasis web. Sebelum pengembangan sistem ini berlangsung pada tahap desain secara umum, maka perlu dilakukan analisa kebutuhan dan penggunaan informasi bagi pihak manajemen dan pengguna perpustakaan.
Kesimpulan yang dapat digali dari tahapan-tahapan pelaksanaan audit informasi sistem informasi perpustakaan UIN Jakarta ini, yaitu:
1. Penerapan program SIPISIS di perpustakaan UIN Jakarta ini merupakan suatu pilihan (keputusan) yang kurang tepat karena tidak sesuai dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapai sebagaimana tercantum dalam buku Rencana Induk Pengembangan IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 1999/2000-2003/2004 dan Konsep Integral Pengembangan Perpustakaan IAIN Syarif Hidayatullah Menuju Perpustakaan Riset Terpadu. Dalam buku tersebut sudah jelas bahwa tujuan yang ingin dicapai dalam pengembangan sistem informasi terotomasi perpustakaan UIN Jakarta adalah untuk mendukung fungsi-fungsi kegiatan yang ada di bagian pengadaan, pengolahan, sirkulasi, pemeliharaan, dan referensi. Sedangkan program SIPISIS, sebagaimana dijelaskan dalam buku panduannya, telah dikembangkan hanya untuk mendukung fungsi kegiatan pengolahan dan sirkulasi.
2. Pelaksanaan audit informasi sistem informasi perpustakaan UIN Jakarta dapat menggambarkan bahwa kebutuhan informasi bagi pihak manajemen dan pengguna perpustakaan dalam kegiatan pengadaan koleksi adalah: (1) pada pihak manajemen tingkat atas dibutuhkan informasi tentang daftar usulan bahan pustaka, jumlah ketersediaan koleksi yang dimiliki (ada, rusak, dijilid, hilang, disisihkan), jumlah keterpakaian koleksi, jumlah permintaan koleksi, dan jumlah dana yang tersedia untuk pengadaan koleksi; (2) pada pihak manajemen tingkat bawah kebutuhan informasi yang berhubungan dengan kegiatan pengadaan koleksi ini meliputi informasi daftar koleksi yang dimiliki (judul, pengarang, penerbit, tahun terbit, subyek, jumlah, harga), daftar koleksi rusak, dijilid, hilang, disisihkan (nomor induk, judul, pengarang, penerbit, subyek, copy), daftar peminjaman koleksi (nomor induk, judul, pengarang, subyek, volume, copy), daftar permintaan koleksi (judul, pengarang, penerbit, tahun terbit, subyek, harga), daftar koleksi wajib dan anjuran tiap program studi (judul, pengarang, penerbit, tahun terbit, subyek, jumlah, harga), daftar terbitan ilmiah dan populer penunjang kegiatan perkuliahan (judul, pengarang, penerbit, subyek, harga), daftar pemesanan koleksi dari suplier (judul, pengarang, penerbit, subyek, jumlah, harga), dan daftar usulan koleksi yang tertunda (judul, pengarang, penerbit, subyek, jumlah, harga); (3) pada pihak pengguna perpustakaan informasi yang dibutuhkan berupa informasi koleksi yang dimiliki (berdasarkan judul, pengarang, penerbit, subyek, dan kata kunci), informasi status koleksi (ada, dipinjam, rusak, hilang, atau dipesan), informasi daftar isi (abstrak) koleksi, informasi permintaan koleksi (judul, pengarang, penerbit, subyek, kata kunci), informasi peminjam koleksi (data peminjam dan data peminjaman tiap anggota), dan ketersedian informasi 1 sampai 5 dalam jaringan lokal (LAN) dan yang lebih luas (WAN) dengan fasilitas OPAC berbasis WEB.
3. Analisa data pelaksanaan audit informasi sistem informasi perpustakaan UIN Jakarta menggambarkan bahwa penggunaan informasi pada pihak manajemen tingkat atas adalah untuk menetapkan pemesanan koleksi untuk tahun anggaran yang akan datang. Sedangkan pada pihak manajemen tingkat bawah kebutuhan informasi yang berhubungan dengan pengadaan koleksi ini digunakan untuk menganalisa jumlah-jumlah tentang ketersediaan, peminjaman, permintaan, kebutuhan koleksi wajib dan anjuran, dan usulan yang tertunda pada tahun sebelumnya. Adapun pada pihak pengguna perpustakaan, informasi yang berhubungan dengan pengadaan koleksi ini digunakan untuk: menunjukan dan memudahkan pencarian koleksi apa yang dimiliki perpustakaan tersebut dari segi pengarang, judul, subyek atau data bibiliografi lainnya; mengetahui keberadaan koleksi apakah ada di rak, dipinjam, diperbaiki, rusak, hilang, masih diolah, atau baru dipesan; mengetahui isi atau pokok bahasan yang ada pada tiap- tiap koleksi; mengajukan permintaan koleksi baru yang belum dimiliki; mengetahui informasi peminjam lengkap dengan alamat atau data lainnya yang bisa dihubungi dan/atau peminjaman tiap anggota yang dapat diakses dalam jaringan lokal (LAN) dan yang lebih luas (WAN) dengan fasilitas OPAC berbasis WEB.
4. Hasil evaluasi dari data yang diperoleh mengenai kebutuhan dan penggunaan informasi dalam sistem informasi terotomasi perpustakaan UIN Jakarta ini memberikan gambaran adanya permasalahan kesenjangan dan penyumbatan informasi pada pihak manajemen dan pengguna perpustakaan dalam kegiatan pengadaan koleksi. Salah satu di antaranya adalah terjadinya kesenjangan informasi (gap) dalam arus informasi dari pengguna perpustakaan kepada pihak manajemen dalam kegiatan pengadaan yang berhubungan dengan permintaan koleksi baru. Selain itu ada juga masalah duplikasi penggunaan (penginputan) data bibliografi yang terjadi di beberapa fungsi kegiatan yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa sistem informasi terotomasi yang diterapkan di perpustakaan UIN Jakarta ini belum bisa mendukung tujuan-tujuan sebagaimana yang direncanakan dalam buku Konsep Integral yang telah dirumuskannya. Hal ini dapat dibuktikan dengan tidak tersedianya informasi-informasi yang dibutuhkan oleh pihak manajemen dan pengguna perpustakaan yang berhubungan dengan kegiatan pengadaan koleksi. Selain itu terdapat duplikasi dokumen-dokumen yang berhubungan dengan data-data bibiliografi di beberapa fungsi kegiatan yang ada. Dari hasil evaluasi ini maka dapat disimpulkan bahwa kegiatan pengadaan koleksi di lingkungan perpustakaan UIN Jakarta ini belum berhasil dilakukan secara efektif dan efisien. Hal ini terjadi karena pelaksanaan pengadaan koleksi masih didasarkan atas asumsi kebutuhan dan bukan atas dasar kebijakan yang disusun berdasarkan ketersediaan dan keterpakaian koleksi yang selayaknya sudah disediakan oleh sistem yang diterapkan. Dengan demikian sistem informasi terotomasi perpustakaan UIN Jakarta berbasis SIPISIS ini perlu dikembangkan lagi dengan bantuan program pendukung lain atau diganti dengan program baru lainnya yang sudah berbasis WEB. Hal ini dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan dan penggunaan informasi bagi pihak manajemen dan pengguna perpustakaan terutama yang berkaitan dengan pelaksanaan pengadaan koleksi ini.
5. Beberapa rekomendasi yang dihasilkan dari pelaksanaan audit informasi sistem informasi perpustakaan UIN Jakarta pada pihak manajemen dan pengguna perpustakaan dalam kegiatan pengadaan koleksi adalah (1) sistem informasi perpustakaan yang akan dikembangkan harus dapat menghasilkan keluaran-keluaran (informasi) bagi kepentingan manajemen tingkat atas dalam menetapkan daftar pemesanan koleksi untuk tahun anggaran akan datang, yaitu berupa daftar usulan koleksi tahun anggaran yang akan datang dan beberapa laporan ringkas mengenai jumlah ketersediaan, keterpakaian, dan permintaan koleksi; (2) sistem informasi perpustakaan yang akan dikembangkan harus dapat memenuhi kebutuhan dan penggunaan informasi pada manajemen tingkat bawah dalam kegiatan pengadaan koleksi dengan mengembangkan sebuah basis data yang dapat mengintegrasikan fungsi-fungsi yang ada mulai dari proses pengadaan, pengolahan, sirkulasi, dan pemeliharaan. Dengan tersedianya basis data yang terintegrasi ini diharapkan dapat menghasilkan informasi (output) berupa daftar ketersediaan koleksi (ada, rusak, dijilid, hiling, disisihkan, dan dipesan), daftar keterpakaian koleksi yang dimiliki, daftar permintaan koleksi wajib dan anjuran, daftar pemesanan koleksi, daftar usulan tertunda, dan daftar terbitan ilmiah dan populer dari para penerbit atau suplier; (3) sistem informasi yang akan dikembangkan harus dapat memenuhi kebutuhan para pengguna perpustakaan baik dalam jaringan lokal (LAN) maupun yang lebih luas lagi (WAN) dengan fasilitas OPAC berbasis WEB yang dapat menyediakan keluaran (output) berupa informasi koleksi yang dimiliki (dengan pendekatan pengarang, judul, subyek, dan kata kunci), informasi mengenai status koleksi (ada, rusak, dipinjam, dijilid, hilang, disisihkan, atau dipesan), informasi peminjam yang bisa dihubungi, dan informasi atau fasilitas permintaan koleksi yang dibutuhkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar